Cahaya Di Suatu Malam
Namanya Nurul. Kata orang tuanya, agar ia bersinar bagai cahaya. Namun, takdir tertulis lain. Nurul justru terpuruk dalam kelamnya hubungan keluarga.
Teman-teman Nurul menyayanginya. Mereka bilang ia cantik, cerdas, dan periang. Sayang, tak ada satu pun yang tahu betapa Nurul menangisi masa-masanya ketika berada di rumah.
Nurul benci rumah. Setiap hari, setiap waktu, setiap ia mengingat rumah. Persis seperti hari ini.
Lagi-lagi ia harus melihat ibunya menangis. Terisak lemah di bawah sentakan keras ayahnya. Dan ini adalah pemandangan biasa, sebiasa ia meminum air putih, sebiasanya ia menghindari orang rumah, sebiasa ia berangkat sekolah lebih awal. Ritual rutin melihat perlakuan bengis ayah terhadap ibu adalah penanda Nurul tak salah rumah.
Hati-hati, Nurul melangkah menuju kamar tidurnya. Membuka, lalu menutup pintu kamar sepelan mungkin, melempar tas sekolahnya yang tak begitu berat, membuka sepatu, dan menghempaskan tubuhnya yang masih berbalut seragam biru putih ke atas kasur. Sebentar lagi, ibu pasti masuk!, pikirnya. Lalu, dalam hitungan menit, sedu sedan wanita berusia 38 tahun itu pun sudah terdengar di sebelahnya. Berbarengan dengan kata-kata berbalut isak yang meminta pembelaan. Belas kasihan, mungkin lebih tepatnya. Nurul sudah hafal skenario rumah ini. Bahkan sudah kebas. Untuk keseribu kalinya, mungkin, Nurul mengusap punggung tangan ibunya dengan mata yang terpaksa diteduh-teduhkan. Hingga hening menemani. Hingga rambut ikalnya sesekali jatuh ke keningnya untuk dibawa kembali ke belakang telinga. Hingga tangis ibunya mereda. Hingga suara motor abangnya terdengar memasuki halaman rumah.
Ah, apakah skenario rumah ini tak pernah berubah?, keluh Nurul.
Benar saja, terdengar suara teriakan ayahnya di ruang tamu, tak lama setelah pintu masuk utama terbuka. Dan dengan penampilan urakan, abangnya sudah membuka pintu kamar Nurul. Membuat ibunya berteriak serak lagi, karena kata-kata kasar abangnya yang memaksa meminta uang. Entah untuk apa uang yang setiap hari dihabiskannya, toh kuliahnya pun tak juga tuntas.
Diam-diam Nurul muak. Diam-diam, Nurul menanti saat-saat ia pergi ke sekolah.
Setelah memberi beberapa lembar uang yang diambil paksa anaknya sendiri, ibu Nurul akhirnya sadar untuk segera beranjak. Tentu saja menuju dapur, menyiapkan makan malam. Sebelum ada lagi perkelahian tambahan untuk hari ini. Nurul pun mengunci pintu kamarnya dan mengganti seragam SMP-nya, sambil terus memikirkan kegiatan apa lagi yang harus diambilnya agar bisa pulang larut malam? Agar bisa sesedikit mungkin berada di rumah?. Ia sudah mengikuti semua les tambahan yang ditawarkan pihak sekolah. Ekstrakulikuler, bahkan bimbel ditempat lain pun telah dilakukan.Tapi, tetap saja, ia harus kembali ke rumah ini. Ayahnya tak akan sebodoh itu membiarkan anak bungsunya berkeliaran hingga tengah malam. Bagaimana jika orang lain mengetahui ketidakbecusannya mengurus seorang anak? Namanya di masyarakat dan rekan kerja, pasti dipertaruhkan. Dan ayahnya tak pernah mau mencoreng mukanya!
Ah, lagi-lagi Nurul harus menelan keganasan rumah ini hingga esok hari?
Menghela napas, Nurul mengambil handuk, lantas pergi membasuh tubuhnya dengan lembut di kamar mandi. Menikmati tetesan air yang menyentuh pori-pori kulit putihnya selama mungkin. Hingga wajar jika ia merasa kedinginan. Beruntung, ibunya mengetuk pintu kamar mandi Nurul. Mengingatkannya untuk makan malam. Ya, makan malam asing itu. Hanya ayah, ibu, dan Nurul. Meskipun sebenarnya rumah ini diisi oleh ayah, ibu, Nurul, seorang abang laki-laki dan kakak perempuan. Hanya saja, abang dan kakak perempuannya lebih menyukai dunia luar daripada kungkungan rumah ini. Seandainya ia cukup untuk dianggap dewasa. Mungkin ia akan mengikuti jalan kakaknya yang selalu lembur di kantor. Atau, sekalian saja menjadi abang yang terjerat pergaulan bebas. Lepas!. Yah, seandainya….
“Makan itu jangan sambil melamun” suara ayah, mengagetkan Nurul. Selekas mungkin, Nurul kembali menghabiskan makan malamnya, lalu beralasan akan mengerjakan tugas. Cara standar Nurul untuk kembali kabur dari ayah dan ibu.
Sayangnya, skenario rumah ini sedikit berimprovisasi. Saat akan mengangkat piring bekas makannya, handphone sang ayah berbunyi. Ekor mata Nurul menangkap sebaris nama ‘Astuti’.Wanita yang seingat Nurul sering disebut-sebut dalam setiap isak tangis ibunya. Wanita pengantar keretakan rumah tangga orang tuanya. Wanita jalang, begitu Nurul lebih suka menyebutnya. Hati Nurul tiba-tiba memanas, mengingat betapa dulu ibunya menjadi ratu dengan cinta tulus sang raja, yaitu ayahnya. Mata Nurul ikut memanas, membayangkan betapa dulu Nurul adalah gadis kecil yang paling dimanja dan tak pernah dibentak sedikit pun. Secepat mungkin Nurul kembali ke dunianya, ke kamar tidurnya.Nurul tahu air matanya ingin meluncur, dan ia harus segera menemukan tempat tidurnya.
Nurul memang kebas dengan kekerasan ayahnya akhir-akhir ini. Nurul bahkan mulai terbiasa dengan kelemahan ibunya, juga ketidakpedulian abang dan kakaknya. Nurul yakin bisa melewati semua itu hingga ia mendapat kesempatan untuk bebas. Nurul masih bisa bertahan. Tapi, Nurul tak bisa kuat melihat wanita lain di hati ayahnya. Nurul masih belum bisa menerima bahwa penyebab semua ini adalah perempuan lain. Nurul menyesali kenapa ibunya tak bisa melawan lebih jauh. Dan Nurul mengutuk kenyataan bahwa ayahnya, lelaki terhebatnya, telah tergoda. Lemah dan jatuh ke pelukan si mantan, Tante Astuti. Nurul hancur untuk mengetahui itu.
Nurul membenci dirinya sendiri, karena pernah menganggap ayahnya luar biasa. Nurul bahkan memaki kebodohannya yang berharap mendapatkan lelaki sesempurna sang ayah. Sempurna?.
Ah.. harapan itu.. pemikiran itu.. kenyataan ini…menusuknya…
Nurul jatuh terlalu dalam. Jauh ke palung kepedihan.
“Kenapa lagi, kok kamu nangis?” buyar kakak perempuannya, sambil menghempaskan diri ke kasur. Berbaring di sebelah Nurul. Mereka memang berbagi kamar bersama. Dan saat ini, Nurul ingin bertanya mengapa ia ada di rumah, karena jam bahkan belum menunjukkan pukul 9 malam. Tapi, Nurul malas berbasa-basi. Nurul tahu kakaknya hanya sok peduli membuka pembicaraan. Atau mungkin memang kakaknya masih perhatian? Ah, terlambat, Kak, sesal Nurul. Nurul sudah bisa menelan semuanya sendiri, semenjak keluhannya hanya dilemparkan balik. Kakaknya selalu mengaku stress mendengar masalah keluarga, setiap kali Nurul mencurahkan isi hatinya. Padahal, Kakaknya tak pernah mau terlibat. Tak pernah mau tahu. Tak pernah di rumah. Selalu lari! Pengecut!
“Tidak apa-apa” jawab Nurul sembari menghapus air matanya. Nurul tiba-tiba mengingat sesuatu, dan beranjak ke kamar mandi. Ada pisau cukur si kakak di sana. Mungkin siletnya bisa menghilangkan kekecewaan akan keharmonisan keluarganya. Atau setidaknya bisa mengumpulkan kembali semua anggota keluarganya. Walaupun bukan di meja makan, tapi di sebuah pemakaman.
Nurul pun tersenyum dalam cahaya. Seperti namanya, Nurul. Cahaya.
Karya : Eka Suryatma