Pelangi Yang Dilukis Agung
Aku jatuh cinta. Pada sepasang mata. Semakin dalam semakin bercahaya. Dia. Pemikat jiwa. Penyelam yang kuselami hatinya. Pelukis pelangi hingga hati penuh warna.
Aku jatuh cinta…
Tak pernah Bunga merasa begitu merana, kecuali hari ini. Hatinya kelabu. Matanya menerawang jauh, dengan ponsel di tangannya. Baru saja ia mengirim pesan kepada para rekan kerjanya, menyatakan permintaan maaf dan rasa terimakasih. Yah, kemarin adalah hari terakhir Bunga di sebuah kantor media penyiaran. Dimana ia menjadi penulis naskah untuk program traveler. Dan ia telah mengundurkan diri demi permintaan ayahnya yang menginginkan kepulangan Bunga ke sebuah kota kecil di Makassar, ke Bone, ke rumahnya. Dan siang tadi, beberapa teman sekantor yang tak sempat ia temui di hari terakhirnya, hanya ia kirimi sepatah dua patah kata dalam sebuah pesan teks. Hanya itu. Hatinya sudah cukup mendung untuk mengetik satu dua huruf di ponselnya. Dan lebih menghitam lagi awan di lubuk hati Bunga, ketika melihat balasan-balasan yang masuk. “semoga sukses bla bla bla..”. Semua dalam format yang sama. Tapi, ia tak masalah.
Sungguh, hatinya belum hujan, hingga seseorang ini, seseorang yang Bunga tidak tahu apa pengaruhnya, bisa membuatnya begitu sendu. Begitu ingin menangis. Padahal hanya dengan mengiriminya sebaris teks yang berbeda. Sebaris teks tersingkat sejak pagi hingga sore ini. Sebaris teks yang menurut Bunga menunjukkan keterpaksaannya untuk peduli sebagai rekan kerja. Atau justru itu memang sebuah kepedulian yang menunjukkan ketidakpedulian? Entahlah, hati Bunga sudah terlanjur hujan. Seperti gerimis yang tiba-tiba menderas di luar rumah. Tapi, Bunga tidak menangis. Bunga hanya menatap serangkaian kata “ok be safe” di ponselnya. Bunga diam.
Oh seseorang ini, apa yang diinginkannya? pikir Bunga, di tengah nafasnya yang satu satu. Hanya butuh waktu tak sampai seminggu untuk menyukainya. Tapi, dalam waktu tak sampai satu menit perasaannya dihancurkan dengan mudah. Hanya dengan 3 kata singkat itu! Bunga kembali menghela nafasnya. Dadanya semakin sesak. Ada rasa menyesal untuk mengakui hatinya terluka karena lelaki ini. Lelaki yang minggu lalu tak pernah masuk sedetik pun ke dalam pikirannya. Namun, kini justru tak beranjak sedikit pun dari ingatannya. Oh, Bunga ingat sekali bagaimana semua ini bermula.
Di dalam kereta, transportasi rutin yang digunakannya bersama seorang editor di kantornya, Bunga bercerita panjang lebar. Ceria seperti biasanya. Namun, entah mengapa topik berganti dengan pertanyaan Adi, si editor, yang menanyakan “Jika di dunia ini hanya ada tiga cowok, Barry, -seorang penulis yang pernah mendekati Bunga-, Vino -pendaki gunung yang baru Ady kenalkan ke Bunga- , dan Agung –penyelam teman dekat Ady sekaligus host program yang dipegang Bunga-, lo pilih siapa?”. Bunga diam sesaat dan lantas menjawab “Agung”. Bunga tak tahu mengapa ia memutuskan begitu. Menurut logikanya, secara fisik dan pesona sepertinya memang ia akan memilih Agung jika kondisi itu benar-benar terjadi.
Namun, sejak itu, Bunga tahu sebenarnya ada yang tak beres. Di tiap rutinitas Bunga dan Ady, selalu terselip nama si penyelam ini. Saat mereka berjalan menuju rumah masing-masing –yang kebetulan searah-, langit malam seakan berhias pelangi setiap kali Ady masih mendoktrin kata ‘Agung’ ke dalam kepala Bunga. Pun ketika mereka berdua melakukan kebiasaan mampir di sebuah warung kopi, dan Ady mulai mengait-ngaitkan topik yang mengerucut ke Agung, rasanya hati Bunga penuh oleh pelangi. Sebenarnya Bunga muak, untuk sehari atau dua hari, ia lupa pastinya. Yang Bunga ingat, hari-hari berikutnya, ia malah menikmati sensasi debar jantungnya tiap kali nama Agung disuarakan. Hari-hari setelahnya, Agung benar-benar melukis pelangi di hati Bunga. Ia menyadari bagaimana suhu tubuhnya tiba-tiba meningkat ketika berada di dekat Agung. Juga bagaimana matanya mengkhianati otak, dengan mencuri pandang ke paras tampan sang penyelam ketika shooting berlangsung. Ah, hati Bunga, benar-benar telah diselami. Begitu dalam, hingga yang terdasar. Lalu, hari-hari berikutnya, Bunga tahu dengan pasti, bahwa kalimat “gue tuh ga suka sama Agung” berarti “gue takut kalo ternyata gue suka, tapi Agung justru ga pernah tertarik sedikit pun sama gue”. Dan itu terjadi sekarang. Itu terbukti pada tiga kata di ponsel Bunga, saat ini. “ok be safe”.
Oh Tuhan, Bunga ingin sekali mengutarakan perasaan jengkelnya dan mengatakan betapa menyebalkannya balasan singkat dari penyelam yang satu ini! Tapi, ternyata Bunga tak berdaya untuk mengetik lebih dari “ok thank you”. Dan semua berakhir. Tak ada lagi balasan. Tak ada. Pelangi-pelangi yang dilukis Agung diam-diam lenyap. Ah, Bunga meratapi betapa cepatnya ia jatuh hati. Bunga membenci memory otaknya yang terlalu jelas merekam sorot mata Agung ketika menatapnya. Bahkan dengan sejuta rasa sesalnya, ia ingin menghapus bersih-bersih keinginannya mencium bibir lelaki ini. Sudahlah, pikirnya. Semua sudah berakhir. Bahkan sebelum berawal. Ironis! Bunga memejamkan matanya. Setetes air mata turun merealisasikan hatinya yang telah lebih dulu hujan.
Bunga pun beranjak. Ia tahu apa yang ia butuhkan. Coklat atau es krim atau es milo. Intinya, sesuatu yang manis untuk kenyataan yang pahit. Semua itu, selalu punya cara tersendiri mempermanis hati Bunga. Hati seorang gadis yang patah (lagi) setelah jatuh cinta. Bunga pun menghapus air matanya, bertepatan dengan hujan yang diam-diam mereda. Sebelum ke toko es krim terdekat, ia menggulung tiap helai rambut keritingnya tepat di atas leher. Lalu, melangkah ringan melewati pintu depan rumahnya. Tersenyum, menatap pelangi yang menghias langit senja. Tepat ketika hatinya mendoakan Agung. Dan Bunga tahu, ia sungguh jatuh cinta.
Aku jatuh hati pada satu cinta, dan jatuh cinta pada satu hati. Maka aku menari bersama pelangi, dalam naungan senja sore hari. Menebar doa, yang semoga tanpa pamrih.
Karya : Eka Suryatma