Lanjutan 5… Kopi di Kerintji
Motif ragam hias bejana perunggu di Kerinci yang terdapat di tabung Kawoa, adalah motif tumbuhan dan ragam hias segitiga (tumpal), bentuk huruf kapital ‘J’ dan motif spiral pada dasarnya tidak hanya ditemukan pada pada bejana perunggu saja tetapi terdapat pula pada produk-produk bendawi lainnya yang dihasilkan oleh berbagai etnik di Nusantara seperti pada ukiran kayu dan motif kain tradisional. Suku Kerinci yang mendiami Dataran Tinggi Jambi menyebut motif segitiga (tumpal) dengan sebutan motif pucuk rebung, dan motif huruf ‘J’ disebut dengan motif keluk paku.
Motif ini diambil dari dua jenis tumbuhan yaitu tumbuhan paku-pakuan dan tumbuhan bambu. Seperti yang diketahui bahwa tumbuhan paku memiliki ciri khas dengan daun yang masih muda menggulung. Pola-pola relung daun paku muda inilah yang dinamakan sebagai motif keluk paku oleh orang Kerinci. Sementara itu, tunas bambu muda akan terlihat berpola seperti segitiga. Motif berbentuk pola-pola segitiga (tumpal) dikatakan sebagai motif pucuk rebung. Baik bambu maupun pakis keduanya adalah dua jenis tanaman yang banyak dijumpai di daerah Kerinci. begitu pula dengan wilayah lainnya di Indonesia yang beriklim tropis basah.
Tanaman pakis dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh beberapa suku di Indonesia sama halnya dengan rebung. Akan tetapi tanaman bambu lebih banyak dimanfaatkan dalam berbagai hal. Tanaman paku-pakuan merupakan tanaman yang berkembang biak sangat cepat terutama pada iklim tropis basah. tanaman paku muda tumbuh melalui spora yang tersebar dari tanaman induknya. Hal ini menjadikan tanaman paku memiliki nilai filosofis tersendiri bagi orang Kerinci. Istilah adat mereka menyebutkan istilah patah tumbauh ila bagentoi (patah tumbuh hilang berganti) dan mati so tumbu saribu (mati satu akan tumbuh seribu), kedua kalimat adat diterjemahkan bahwa segala sesuatu yang sudah mati tidak akan lenyap begitu saja tetapi akan terus meregenerasi menjadi ratusan bahkan ribuan pengganti yang lebih baik.
Secara singkat, motif keluk paku menjadi lambang bagi kesuburan. Oleh karena tunas paku menjadi lambang kesuburan bagi suku Kerinci, motif ini juga terdapat pada ukiran-ukiran kayu di rumah dan lumbung padi mereka.
Motif Hias Pucuk Rebung pada Naskah Surat Incung, suku Kerinci memanfaatkan potongan bambu sebagai atap rumah. Bambu yang dipecah disebut pelupuh digunakan sebagai dinding dan lantai rumah (Schefold, 2008). P. Voorhoeve (1970) mengatakan bahwa surat Incung orang Kerinci yang berisi ratapan-ratapan ditulis pada media tabung bambu karena bambu dinilai mempunyai daya magis.
Motif spiral dalam masyarakat Kerinci disebut sebagai motif pilin (Rassuh, 2008), Melihat bahwa dalam motif ini, pola relung paku berada pada sisi berbeda dan arah hadap berlawanan tetapi disatukan dalam batangan lurus, kemungkinan merupakan simbol dari penyatuan oposisioposisi yang ada di alam semesta. Sumardjo (2002: 121) menyebutkan bahwa motif huruf S (spiral) sebagai lambang dari perpaduan antara lelaki (sifat maskulin) dan perempuan (sifat feminin) sehingga mewujudkan sebuah harmoni atau keselarasan semesta.
Motif Persegi Hal yang paling menonjol dalam motif persegi ini adalah munculnya pola bilangan empat seperti empat buah sisi dan empat buah sudut yang menjadi pembentuk pola persegi. Bilangan empat ini banyak muncul dalam aspek sosial-budaya berbagai etnik di Nusantara. Suku Kerinci dalam tatanan adat mereka mengenal istilah kato nan mpat, negeri nan mpat, undang-undang nan mpat, adat nan mpat, lembago nan mpat, dan parbokalo bungkan yang barempat (Yakin, 1986; Zakaria: 1984). Istilah parbakalo bungkan yang barempat misalnya merujuk kepada empat orang yang dipilih sebagai dewan pertimbangan dalam pemerintahan adat Kerinci, ke empat orang ini ditempatkan dalam empat sisi permukiman sebagai lambang keseimbangan.
-- (Artikel 6) --